![]() |
Bagi warga, peresmian ini lebih dari sekadar seremoni. Ini adalah puncak dari proses kolaboratif yang melibatkan ratusan tangan dan hati. Sebanyak 504 galon cat digunakan untuk menghias rumah-rumah warga dengan warna cerah, melibatkan lebih dari 150 pekerja. Mural-mural yang kini menghiasi dinding kampung bukan hanya mempercantik, tetapi menyimpan pesan sosial, sejarah, hingga harapan.
“Lembur Katumbiri ini dulunya Kampung Pelangi. Karena catnya pudar, kami cat ulang dan berganti nama. Sudah berjalan dua minggu,” ujar Rasimun, Ketua RT 10. Ia berharap revitalisasi ini dapat mendongkrak ekonomi warga, terutama pelaku UMKM dan warung kecil di kawasan tersebut.
Nama “Katumbiri”, yang berarti pelangi dalam bahasa Sunda, dipilih karena merepresentasikan semangat keberagaman dan kebersamaan. Sebuah filosofi yang lahir dari proses gotong royong selama revitalisasi.
Wali Kota Farhan mengapresiasi kolaborasi lintas sektor dalam proyek ini. “Ini bukan hanya soal infrastruktur, tapi juga tentang seni, budaya, dan kebersamaan. Mural menjadi medium narasi yang kuat,” katanya.
Kepala DSDABM Kota Bandung, Didi Ruswandi, mengakui proyek sempat terkendala anggaran. Namun semangat warga justru mendorong hasil yang sudah lebih dulu viral sebelum diresmikan.
Kini, Lembur Katumbiri tak hanya menawarkan visual cantik, tetapi juga nilai kehidupan. Ada konservasi ikan endemik, urban farming, hingga pasar mingguan hasil kerja sama dengan Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP). Semuanya lahir dari semangat kolektif.
Ke depan, Pemkot Bandung akan meluncurkan program “Bandung Punya Cerita”, yang mendokumentasikan sejarah lokal dan mural sebagai bagian wajah kota.
Peresmian ditutup dengan doa bersama. Warga dan tamu berjalan menyusuri lorong kampung, menyimak satu per satu mural yang tak sekadar hiasan, tapi cerminan kehidupan. Dari Dago, suara harapan dilantunkan dalam warna.
Editor: Redaksi Zilenialnews